Imam Syafi’i (pemadu Riwayat dan Nalar)


As-Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’ bin al-Sa’ib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthollib bin Abdi Manaf. Ia keturunan Arab, Quraisy, Hasyim, Muthollib. Nasabnya bertemu dengan nasab baginda Rasulullah pada kakeknya, Abdi Manaf.

Imam Syafi’i lahir di Gaza tahun 150 H, tahun yang sama di mana Imam Abu Hanifah meninggal. Gaza termasuk wilayah bumi Palestina. Yaqut meriwayatkan dari as-Syafi’i : “Aku dilahirkan di Yaman, dan karena ibuku takut kehilangan masa depanku, beliau membawaku ke Mekah pada usia sepuluh tahun atau sekitar itu”. Sebagian kalangan mencoba mengkompromikan kedua riwayat itu dan mengatakan bahwa Imam Syafi’I lahir di Gaza dan tumbuh di Asqalan -satu negeri yang jaraknya sekitar 9 mil dari Gaza- yang dihuni oleh kabilah Yaman. Imam besar ini tumbuh dalam keluarga Palestina yang miskin. Ayahnya meninggal ketika Imam kita ini masih kecil, maka sang ibu membawanya ke Mekah demi memelihara keluhuran nasabnya.

Ibunda Imam Syafi’i bernama Fatimah binti Abdullah al-Azdiyah. Azdiyah sendiri merupakan penisbatan pada kabilah Azd yang disebut oleh Rasulullah dengan sabdanya : “al-Azd adalah singa Allah di bumi, orang-orang ingin menundukkan mereka, tetapi Allah enggan dan ingin mengangkat derajat mereka. Satu ketika akan datang suatu masa di mana orang akan berkata, seandainya aku dari kabilah Azd, seandainya ibuku dari Azd”.

Imam Syafi’I dan aktivitas keilmuan
Imam Syafi’i tumbuh sebagai pemuda yang miskin, berkehidupan yang sulit, sehingga ketika menuntut ilmu ia terpaksa menulis dalam potongan tembikar, kulit pelepah kurma dan tulang belulang hewan karena memang tidak mampu membeli kertas.
Kiblat para ulama’ syafi’iyah ini telah menghafal Alquran ketika masih kecil dan mulai menghafal hadis-hadis Nabi dan menulisnya. Syafi’I remaja suka pergi ke pedesaan dan bergaul dengan kabilah Huzail hampir sepuluh tahun untuk mengambil kaidah bahasa Arab. Maka tidak heran ia mampu menghafal syair-syair Huzail dan sejarahnya. Huzail adalah kabilah Arab yang paling fasih.

Di samping belajar ilmu pengetahuan ia sangat gemar belajar memanah sehingga dikatakan dalam sepuluh kali bidikan tidak ada satupun yang meleset. Dalam hal ini As-Syafi’I berkata : “Himmahku ada dua, yaitu memanah dan ilmu. Aku bisa memanah sepuluh kali tanpa meleset sekalipun”. Namun ada orang yang menimpalinya : “Demi Allah, kamu dalam hal ilmu lebih menonjol dari pada memanah”.
Dan memang dalam kenyataannya orang lebih banyak tahu As-Syafi’I sebagai mujtahid mutlak dari pada jago memanah. Tentang intensitasnya dalam ilmu Imam Syafi’i pada mulanya bertolak dari syair, sastra dan sejarah Arab, kemudian Allah mentakdirkan beralih pada fikih dan ilmu pengetahuan yang kelak ini menjadi simbol dirinya yang agung.

Riwayat-riwayat yang ada mengatakan, bahwa As-Syafi’I –dalam perjalanannya menuntut ilmu nahwu dan sastra- bertemu dengan Musallam bin Khalid al-Zanji mufti Mekah. Dia bertanya pada Imam Syafi’i: “Dari mana kamu?”. “Dari Mekah”,”Di mana tempat tinggalmu?”, lanjut mufti “Di Khaef”. “Dari kabilah mana kamu?”. Imam Syafi’i menjawab: “Dari Abdi Manaf”. Karena tahu kedetailan jawaban as-Syafi’I Musallam berkata : “Bagus, bagus. Allah telah memuliakan kamu di dunia dan akhirat, Seandainya kamu menjadikan pemahamanmu yang bagus ini dalam fikih maka itu lebih baik”.

Imam Syafi’i menonjol dalam fikih di saat usianya masih muda. Musallam memberinya izin untuk berfatwa. Tapi himmah Syafi’i tidak sampai di situ, ia mendengar kabar tentang Imam Madinah Malik r.a yang sangat terkenal di penjuru wilayah dan mempunyai posisi tinggi dalam fikih dan hadis. Keinginan Syafi’i untuk hijrah ke Madinah menuntut ilmu sudah bulat. Ia menyiapkan segala sesuatunya. Ia meminjam kitab al-Muwattho’ karya Imam Malik dari seseorang di Mekah. Ia membacanya, menghafalnya, kemudian memperoleh surat rekomendasi dari penguasa Mekah yang ditujukan kepada penguasa Madinah sebagai perantara pada Imam Malik supaya beliau mau menerima Syafi’i sebagai murid.

Imam Syafi’i pergi ke Madinah al-Munawwarah, kemudian bergegas menemui Imam Malik dengan membawa surat rekomendasi itu. Ketika Imam Malik melihatnya dan membaca surat rekomendasi itu, beliau marah dan berkata: “Subhanallah, ilmu Rasulullah membutuhkan rekomendasi?”. Syafi’i beralasan: “Saya membawa itu karena semangat saya untuk belajar darimu”. Lalu Imam Malik menanyakan namanya, as-Syafi’I menjawab “Muhammad”, dan Imam Malik berkata, “Muhammad…, bertakwalah pada Allah dan jauhilah maksiat maka kamu akan memperoleh posisi tinggi. Ketahuilah sesungguhnya Allah telah memberikan cahaya dalam hatimu. Janganlah kamu padamkan dengan maksiat.

Maka demikianlah, Syafi’i mulai belajar pada Imam Madinah al-Munawwarah ini. Ia membaca, memahami kitab-kitab dan Imam Malik menambahi dengan keterangan-keterangan. Ini terjadi sampai beliau wafat tahun 179 H dan Syafi’i telah menginjak usia muda.
Di balik semangat Imam Syafi’i yang menggelora untuk terus belajar dari Imam Malik, ia mencari waktu yang baik untuk pergi ke Mekah demi mengunjungi ibunda dan memohon nasihat. Pada diri ibundanya ada kehormatan, dan pemahaman yang bagus.
As-Syafi’i memang gemar bepergian dan ia melihat di sana ada faedah yang besar.

Dalam hal ini ia menguntai syair :

“Kan kujelajahi luasnya bumi
kuperoleh keinginanku atau
di pengasingan aku mati
kalau diri ini binasa,
alangkah baiknya dan
kalau selamat maka kepulangan kan segera tiba”.

Imam Syafi’i melihat dalam bepergian ada beragam faedah sebagaimana terkandung dalam syairnya :

“Berkelanalah,
kan kau dapati
pengganti orang yang kau tinggalkan.
Bekerja keraslah,
karena nikmatnya hidup
ada dalam kerja keras
lihatlah air..
ketika diam dia akan binasa dan
Ketika mengalir
Alangkah indahnya.
Lihatlah Singa,
Ketika berkutat di dalam rimba
Tak kan bisa ia memangsa
Lihatlah anak panah,
kalau tidak meninggalkan busurnya
tidak akan mengena sesiapa
lihatlah Biji emas
ia hanya laksana debu
ketika di tempatnya ia membisu
lihatlah si tongkat kayu
di tanahnya ia hanyalah kayu
namun lihatlah
Ketika biji emas dari kerumunannya
Berlari
Alangkah mahal dan terus dicari
Dan ketika si tongkat kayu menyendiri,
ia pun mahal bak permata

Kecerdikan Imam Syafi’i
Keluhuran nasab Syafi’i tidak membuatnya diam, tidak mau bekrja dan hanya mengharap ‘upeti’ orang lain. Suatu ketika salah seorang penguasa Yaman datang ke Hijaz. Beberapa orang dari suku Quraisy meminta penguasa Yaman itu agar mau memberi pekerjaan pada Syafi’I di Yaman. Imam Syafi’i menerima dan menggadaikan rumahnya untuk persiapan pergi. Di sana imam mazhab ini diserahi suatu pekerjaan. Imam Syafi’i menjalankan dengan sangat cemerlang. Ia mampu berbuat adil, menghapus tindak kelaliman dan suap menyuap. Bukan hanya itu saja, alim nan berani ini mencela para penguasa yang lalim, mengkritik mereka dan mengingatkan mereka akan siksa yang menimpa penguasa yang lalim.
Ketegasan Imam Syafi’I ini sampai juga pada penguasa Yaman. Gerah dengan kritikan tersebut dia menulis surat untuk Harun al-Rasyid yang berisi tuduhan bahwa Imam Syafi’i berpihak pada Ali dan keluarganya. Ia menuduh bahwa Imam Syafi’i berusaha diam-diam mengkudeta Khilafah Abbasiyah untuk Alawiyah. Dia juga menuduh bahwa dalam gerakannya itu Imam Syafi’i ditemani sembilan orang. Kesembilan orang itu telah bergerak, dan di sini ada seorang keturunan Syafi’ bani Muthollib yang bekerja dengan lisannya, tak seorangpun pembunuh yang bisa membunuh dengan pedangnya.

Harun al-Rasyid memerintahkan penguasa Yaman agar mendatangkan kesembilan orang Alawiyah itu bersama pula dengan Imam Syafi’i. Harun al-Rasyid memerintahkan untuk membunuh kesembilan orang itu. Dan ketika tiba giliran Imam Syafi’i, beliau berkata pada Khalifah: “Sabar wahai amirul mukminin, engkau pendakwa dan aku terdakwa, engkau mampu melakukan apa saja terhadapku sementara aku tidak. Wahai amirul mukminin, bagaimana pendapatmu tentang dua orang laki-laki, salah satunya melihatku sebagai saudara dan yang lain melihatku sebagai budak, mana yang engkau sukai ?”.

Harun al-Rasyid menjawab: “Orang yang melihatmu sebagai saudara”. Imam Syafi’i berkata: “Itulah engkau wahai amirul mukminin”. Harun al-Rasyid berkata : “Bagaimana itu?”. Imam Syafi’i berkata: “Wahai amirul mukminin kalian adalah anak keturunan Abbas dan mereka adalah anak keturunan Ali, kami adalah keturunan Muthollib, kalian (keturunan Abbas) melihat kami sebagai saudara dan mereka melihat kami sebagai budak”.
Harun al-Rasyid senang mendengarnya dan berkata: “Wahai putra Idris, bagaimana pengetahuanmu tentang Alquran?”. Imam Syafi’i menjawab: “Pengetahuan yang mana yang engkau tanyakan, hafalan? aku sudah menghafalnya dengan baik, juga waqaf ibtida’-nya, nasikh mansukh—nya, yang turun malam atau siang, ayat yang keras dan yang lembut, ayat yang menggunakan khitob ‘am tapi maksudnya khas, berkhitob khas tapi maksudnya ‘am”.

Harun bertanya: “Bagaimana pengetahuanmu tentang perbintangan?”. Imam Syafi’i menjawab: “Dari situ aku mengetahui daratan, lautan, lembah, pegunungan, waktu minum gembala di sore hari, waktu pagi hari dan semua hal yang harus diketahui”.
Harun bertanya: “Bagaimana pengetahuanmu tentang silsilah Arab ?”. Imam Syafi’i menjawab: “Aku mengatahui silsilah orang-orang hina, orang-orang terhoramat, silsilahku dan silsilah amirul mukminin”.
Harun bertanya: “Apa nasihat yang bisa engkau berikan pada amirul mukminin ?”. Maka Imam Syafi’i memberi nasihat yang menyentuh, seperti nasihat Thawus al-Yamani. Maka Harun ar-Rasyid menangis dan memerintahkan agar memberi Imam Syafi’i uang dan hadiah yang banyak. Imam Syafi’i lalu membagi hadiah itu begitu keluar dari pintu istana.
Kisah di atas adalah bukti nyata kecerdikan Imam Syafi’i, kekuatan argumentasinya dan kecepatannya dalam melepaskan diri dari masalah. Demikianlah Imam Syafi’i sang pengembara yang meliputi Yaman, Kufah, Basrah, Mekah dan Baghdad. Baghdad yang kelak identik dengan qul qadim-nya ia singgahi pada 184 H.

Imam Syafi’I tiba di Baghdad
Imam Syafi’i tiba di Baghdad pada saat usianya menginjak 34 tahun, yaitu ketika terbebas dari jerat hukuman Harun ar-Rasyid berkata kecerdikannya itu. Di sana ia belajar ilmu pengetahuan dan fikih pada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani murid Abu Hanifah. Imam Syafi’i menguasai fikih Irak. Oleh karena itu dalam dirinya terkumpul fikih Hijaz yang lebih memprioritaskan naql (riwayat) dan fikih Irak yang lebih memenangkan aql. Dalam hal ini Ibn Hajar berkata: “Puncak fikih di Madinah ada pada Malik bin Anas, maka Imam Syafi’i pergi ke sana dan berguru kepadanya. Puncak fikih di Irak ada pada Abu Hanifah, maka Imam Syafi’i mengambil dari muridnya Muhammad bin al-Hasan secara utuh. Semua ilmu Muhammad dipelajari Imam Syafi’i. Maka dalam dirinya terkumpul ilmu ahli ra’yi dan ilmu ahli hadis. Sehingga terbersit dalam dirinya untuk mengolahnya, sehingga lahir ilmu ushul fiqh, suatu kaidah yang menjelaskan khilafiyah, di mana beliau menjadi sangat masyhur di kemudian hari”.
Imam Syafi’i sering kali berdebat dengan murid-murid Muhammad bin al-Hasan. Dalam hal ini ia membela madzhab ahli hadis dan fikih Hijaz. Imam Syafi’i tidak mendebat Muhammad sebagai rasa hormat terhadap guru. Tetapi Muhammad mendengar bahwa Imam Syafi’I sering berdebat dengan muridnya, maka beliau meminta agar Imam Syafi’i mau berdebat dengannya. Tetapi Imam Syafi’i malu dan enggan, tapi Muhammad memaksa, maka Imam Syafi’i pun menerima dengan ‘terpaksa’, yang diakhiri dengan kemenangan Imam -Syafi’i.
Setelah beberapa tahun tinggal di Baghdad Imam Syafi’i kembali ke Mekah dan mengajar di tanah haram. Di sini Imam besar tingkat dunia ini bertemu dengan ulama-ulama besar pada musim haji. Mereka mendengarkan ajaran-ajarannya. Pada saat itulah terjadi pertemuan dengan Ahmad bin Hambal yang ketika ditanya tentang Imam Syafi’i ia menjawab: “Allah telah memberi anugerah kita dengan adanya Imam Syafi’i. Kami telah belajar dari orang-orang, menulis buku karya mereka sampai Imam Syafi’I datang di hadapan kita. Ketika kami mendengar ucapannya, kami mengetahui ia lebih alim dari yang lain. Kami bergaul dengannya siang malam dan yang kami ketahui hanya kebaikan yang ada pada dirinya. Semoga rahmat Allah selalu melimpah kepadanya”.

Pada tahun 195 H Imam Syafi’i kembali lagi ke Baghdad dengan membawa ushul fiqh dan kaidah-kaidah kulliyah para ulama. Ahli hadits dan ahli ra’yi menyambutnya dengan hormat. Di Irak as-Syafi’I mempunyai banyak murid, pengikut dan madzhabnya terkenal dengan madzhab qadim. Pada saat ini Imam Syafi’i menyusun kitab ar-Risalah di mana ia meletakkan dasar-dasar ilmu ushul fiqh.
Dalam hal ini Ar-Razi bercerita : “Abdurrahman bin Mahdi meminta Imam Syafi’i –pada waktu masih muda- agar menyusun sebuah kitab yang berisi syarat-syarat pengambilan dalil dari Alquran, Sunnah, Ijma’ Qiyas, penjelasan Nasikh Mansukh, tingkatan ‘am dan khas. Imam Syafi’i menyanggupinya dan menyusun satu kitab yang kita kenal dengan ar-Risalah dan mengirimkannya kepada Abdurrahman bin Mahdi. Ketika ia membacanya ia berkata : “Aku tidak menduga Allah SWT menciptakan orang semacam ini”. al-Razi menambahi : “Ketahuilah bahwa Imam Syafi’i telah menyusun kitab al-Risalah ketika beliau di Baghdad. Dan sewaktu beliau kembali ke Mesir beliau menyusun ulang. Dan masing-masing dari susunannya itu terdapat ilmu yang banyak”.
Pada tahun 198 H Abu Abdillah al-Ma’mun memegang tampuk pemerintahan. Pada masa ini, Imam Syafi’i tidak betah tinggal di Baghdad karena melihat orang-orang Parsi yang semakin berkuasa, sementara Imam Syafi’i adalah orang Arab, Quraisy dan sangat mengagungkan syariat. Di sisi lain al-Ma’mun menyemarakkan filsafat bahkan membelanya mati-matian. Ia menawari Imam Syafi’i untuk menjadi hakim tetapi beliau menolak. Versi lain mengatakan bahwa Abbas bin Abdillah bin Abbas bin Musa bn Abdillah bin Abbas memintanya ke Mesir. Abbas ini adalah wakil Abdullah al-Ma’mun untuk wilayah Mesir.

Imam Syafi’I tiba di Mesir
Imam Syafi’i tinggal di Mesir selama empat tahun lebih. Di sini ia banyak menulis buku, namanya terkenal, harum karena orang-orang menerimanya dengan baik, menyebarkan madzhabnya yang baru. Semuanya ini tertuang dalam kitabnya al-Umm.
Kajian dan ilmu yang diajarkan oleh Imam Syafi’i sangat beragam, sehingga di hadiri oleh banyak orang. As-Syafi’i –menurut cerita al-Rabi’ bin Sulaiman- selepas salat Subuh duduk dalam sebuah halaqah mengajar Alquran, ketika matahari mulai terbit, datang ahli hadis untuk bertanya pada beliau tentang tafsir dan makna hadis. Dan ketika matahari mulai meninggi berlangsung halaqah munadharah dan diskusi, dan ketika sampai waktu dhuha datang, orang-orang yang hendak belajar bahasa Arab, Arudh, nahwu, Syair datang dan mengaji sampai tengah hari.
Dengan demikian Imam Syafi’i sekitar enam jam dalam setiap hari, mengajar berbagai materi ilmu, mulai selepas shalat subuh sampai menjelang shalat dzuhur.

Fikih Imam Syafi’I
Fikih Imam Syafi’i sangatlah kaya, karena ia merupakan paduan dari nalar yang cemerlang, pendapat yang bijak dan pengalaman yang teruji. Ia mengelilingi berbagai negeri, berdiskusi dengan para ulama, mendengarkan pendapat mereka. Imam Syafi’i pada mulanya menyiapkan dirinya sebagai ahli fikih Madinah murid Imam Malik. Namun belakangan nampak keistimewaan dalam dirinya sehingga beliau berani berpendapat sendiri, baik itu sesuai dengan Imam Malik atau tidak pada saat di mana sebagian orang pada saat itu ‘mengkultuskan’ Imam Malik.
Orang-orang Andalus menjadikan kopyah Imam Malik berkah, dan ketika ada orang yang mengatakan Rasulullah SAW bersabda, maka mereka mengatakan Imam Malik berkata. Imam Syafi’i memberi tahu mereka, bahwa Imam Malik adalah manusia biasa, bisa salah, bisa juga benar. Kemudian ia memaparkan beberapa kritikannya.

Imam Syafi’i menulis buku khusus yang berjudul Khilafu Malik. Di situ Imam kita ini menegaskan bahwasannya pendapat tidak berlaku ketika ada hadis, tapi as-Syafi’I menyimpan kitab itu satu tahun demi menghormati gurunya. Baru setelah dirasa aman buku itu disebarkan ke masyarakat semata-mata karena Allah Subhanahu Wata’ala.

Di sisi lain Imam Syafi’I juga mengkritik pendapat Abu Hanifah dan Auza’iy. Dan karena ini ia mendapatkan ‘masalah’.
Fahruddin al-Razi menceritakan tentang keutamaan Imam Syafi’i dan posisinya dalam mengkompromikan hadist dan ra’yi “Orang-orang sebelum Imam Syafi’i terbagi menjadi dua kelompok; Kelompok hadist dan ra’yi. Kelompok hadist sangat menjaga hadist dari Rasulullah SAW, tapi mereka lemah dalam diskusi dan debat dan ketika ada pertanyaan dari kelompok ra’yi, mereka seakan tidak mampu untuk menjawabnya. Sedangkan ahli ra’yi adalah ahli debat dan diskusi, hanya saja mereka lemah dalam hadis dan riwayat. Sementara itu Imam Syafi’i adalah orang yang tahu benar sunnah Rasulullah SAW, menguasai kaidah-kaidahnya. Beliau juga tahu benar etika diskusi dan debat dan beliau pun orang yang sangat mumpuni dalam berdebat dan diskusi. Gaya bicara beliau fasih, mampu menggertak lawan dengan argumentasi yang kuat dengan mengambil dalil dari sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang ingin bertanya pada beliau, dijawab dengan jawaban yang memuaskan. Semuanya karena Imam Syafi’i menguasai hadist dan ra’yi”.

Imam Syafi’i sangat teliti dalam meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW. Ia mensyaratkan perawi harus jujur dan terkenal kejujurannya, wara’-nya dan agamanya. Ia memahami dan menghafal hadis tersebut sebagaimana ia juga hanya mengambil hadis dari orang yang meriwayatkan hadis tersebut secara langsung.

Imam Syafi’i menganggap ijma’ sebagai hujjah setelah Alquran, hal itu tentunya dengan persyaratan dan pembatasan yang ketat. Beliau tidak menyukai hal yang baru dalam agama. Menurutnya adalah tidak boleh orang berpendapat dalam urusan syariah dengan pendapat pribadi, kecuali ketika pendapat itu ada landasan qiyas yaitu menyamakan masalah yang tidak ada nash-nya dengan masalah yang ada nash hukumnya, karena ada kesamaan dalam ilat hukum.

Al-Razi berkomentar tentang fikih Imam Syafi’i, “penisbatan Imam Syafi’I pada ilmu ushul adalah seperti penisbatan Aristo pada Ilmu Mantiq dan Kholil bin Ahmad pada Ilmu Arudh. Beliau banyak menulis buku di antaranya adalah al-Risalah yang berbicara tentang ushul fiqh. Masyarkat sepakat akan validitas kitab ini. al-Muzani berkata: “Aku mempelajari al-Risalah lima puluh tahun. Setiap aku mempelajari aku selalu mendapatkan hal baru yang tidak aku ketahui sebelumnya”.

Di antaranya juga kitab al-Umm. Ini adalah kitab yang besar dalam fikih Imam Syafi’i. Sebagian peneliti menisbatkan kitab ini pada muridnya yaitu Abu Ya’kub al-Buwaithi. beliau dalam kitabnya ini banyak meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaan Quraisy. Ia berpendapat bahwa kekhalifahan harus dengan bai’at, kecuali terpaksa. Ketika seseorang dengan kekuatannya mampu mengalahkan pihak lain, dan masyarakat menerimanya maka kepemimpinannya sah.

Imam Syafi’I dan konflik Ali-Muawiyah
Imam Syafi’I tidak mau masuk dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. Ia lebih memilih pendapat Khulafaur Rasyidin yang kelima yaitu Umar bin Abdul Aziz yang ketika ditanya tentang sahabat yang turut serta dalam perang shiffin beliau berkata : “Ini adalah darah, yang alhamdulillah Allah SWT mensucikan dari tanganku. Maka akupun tidak mau membasahi lidahku dengan darah itu”.
Tentang kedudukan sahabat Nabi as-Syafi’I memandang Abu Bakar mempunyai posisi yang lebih dari pada yang lain kendatipun ia mencintai ahlu bait Rasulullah SAW dan sangat menghormati Ali r.a. Dalam hal ini ia berkata: “Ketika cinta pada keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, maka jin dan manusia supaya bersaksi bahwa aku termasuk kaum rafidah” (golongan syi’ah yang sangat mengagungkan keluarga Nabi.

Guru Imam Syafi’i
Di antara guru Imam Syafi’i di Irak adalah Waqi’ bin Jarrah al-Kufi, Abu Usamah Hammad bin Usamah al-Kufi, Ismail bin aliyah al-Bashri, Abdul Wahhab bin Abdul Majid al-Bashri.
Sedangkan guru Imam Syafi’i di Madinah di antaranya adalah : Malik bin Anas, Ibrahim bin Saad al-Anshori, Abdul Aziz bin Muhammad al-Dawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad bin Said din Abi Fadyak dan Abdullah bin Nafi’ al-Shaigh.
Di antara guru Imam Syafi’i di Yaman adalah : Muthrrof bin Mazin, Hisyam bin Yusuf (hakim San’a) Umar bin Abi Maslamah (murid al-Auza’iy) Yahya bin Hasan (murid al-Laits bin Sa’ad).

Akhir hayat Imam Syafi’i
Imam Syafi’I selama hidupnya tertimpa berbagai macam penyakit, di antaranya wasir yang menyebabkan pengeringan darah. Beliau wafat di Mesir pada malam Kamis selepas maghrib, akhir bulan Rajab tahun 204 H. Usianya 54 tahun. Beliau meninggal di sisi Abdullah bin Hakam, dimakamkan pada hari Jum’at di pemakaman Qarrafah al-Shughra.

Makam Imam Syafi’i
Di atas makam Imam Syafi’I dibangun kubah yang kemudian direnovasi oleh Shalahuddin dan dibangun juga disekitarnya Madrasah Shalahiyah tahun 575 H (1179 M). Di kedua pintu makam tertulis :

Imam Syafi’i adalah imam manusia semua
Dalam ilmu, kelembutan, keagungan dan keperkasaan
Keimamannya diterima di dunia
Sebagaimana kekhalifahan keturunan Abbas
Murid-muridnya adalah sebaik murid, madzhabnya
adalah sebaik madzhab menurut Allah dan manusia

Di atas kubah, ada perahu kecil yang diabadikan oleh Imam al-Bushairi pemilik Burdah sebagai berikut:

Pada kubah Imam Syafi’i ada perahu
Kokoh, kuat laksana batu
Badai pengetahuan melimpah di persemayamannya
Dan dari situ kapalpun berlabuh di atas bukit Judi.

sumber: http://www.al-hasani.com

Penulis: nurululum

kami adalah sebuah lembaga terpadu yang terdiri dari Pondok Pesantren, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang berada di kota Malang tepatnya di Jl. Aipda Satsui Tubun 17 Rt. 02/03 Kelurahan Kebonsari Kecamatan Sukun Kota Malang 65149. Phone: (0341) 835281-803254. website: www.nurululum.sch.id email: nurul_ulum1967@yahoo.co.id. Bila anda ingin berbagi kebahagiaan silahkan menghubungi alamat di atas.

Tinggalkan komentar